“Ah, nanti juga sekolah ajarin kok.”
Kalimat itu terdengar familiar ya, Mas dan Mbak? Tapi, tahukah Anda bahwa hari ini—di beberapa negara maju—anak usia 10 tahun sudah bisa membuat proyek AI sendiri?
Kalau kita menunggu sekolah saja, bisa jadi anak-anak kita justru tertinggal jauh dari perkembangan zaman. Di Hari Kartini ini, mari kita belajar dari semangat beliau: berpikir terbuka, punya tekad besar, dan berani berubah demi masa depan yang lebih baik.
Berikut ini 5 alasan kenapa orang tua zaman sekarang perlu mengarahkan anak-anaknya untuk bukan hanya kenal, tapi juga menguasai teknologi seperti AI—sebelum dunia kerja menuntut lebih dulu.
Kartini saja berani “melawan arus” demi pendidikan, masa kita malah ragu memperkenalkan anak ke AI?
Saat ini, anak-anak bisa memanfaatkan teknologi seperti AI untuk bantu belajar, eksplorasi kreativitas, bahkan membuat proyek sekolah lebih efisien. Sementara kita, sebagai orang tua, perlu mendukung lewat sistem yang mendukung, seperti memilih sekolah yang sudah memakai sistem-informasi-sekolah modern agar anak tidak hanya belajar, tapi juga siap hidup di dunia yang digital.
Contoh nyata: Seorang anak bernama Raka, usia 13 tahun, belajar membuat chatbot sederhana yang bisa membantu temannya memahami pelajaran matematika. Ini bukan hanya keren, tapi juga menunjukkan bahwa AI bisa digunakan untuk kolaborasi dan empati.
Raka belajar dari sekolah yang menggunakan manajemen-sekolah-digital, yang memudahkan akses materi belajar dan proyek inovatif berbasis teknologi.
Kartini tak hanya cerdas, tapi juga punya tekad dan growth mindset. Di era digital, dua hal ini tetap jadi fondasi, tapi perlu dilengkapi dengan keterampilan baru—termasuk kecakapan menggunakan AI.
Sekolah yang telah mengadopsi administrasi-sekolah-online dan software-sekolah-4.0 memungkinkan siswa belajar dengan pendekatan personalisasi berbasis data. Tapi semuanya tetap bermula dari kesadaran orang tua untuk mendorong anak terbuka terhadap perubahan.
Anak yang terbiasa menggunakan AI untuk belajar jadi lebih percaya diri, karena ia tahu cara menyelesaikan masalah dengan cara kreatif. Mereka tidak takut mencoba, karena AI menjadi alat eksplorasi, bukan alat instan.
Inilah bentuk pendidikan ala Kartini masa kini—berani berbeda, tapi tetap rendah hati dalam belajar dari teknologi.
Mari kita jujur—anak-anak akan tetap terpapar teknologi. Jadi, lebih baik kita sebagai orang tua yang mengarahkan penggunaannya untuk hal positif. Seperti halnya Bu Maya, seorang ibu dari Yogyakarta yang awalnya takut anaknya “kecanduan AI”—tapi kini bersyukur karena Raka bisa jadi contoh anak yang cerdas digital, tidak tergantung tapi justru mandiri lewat teknologi.
Hari Kartini bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah momentum untuk menanamkan nilai-nilai Kartini ke dalam dunia modern: berpikir terbuka, berani berubah, dan punya tekad kuat mendidik anak di era digital.
Karena di masa depan, bukan robot yang akan menggantikan kita—tapi orang yang menguasai AI lah yang akan maju lebih dulu. Yuk, mulai kenalkan anak-anak kita pada AI, dan pastikan mereka tumbuh bukan hanya cerdas, tapi juga relevan di masa depan. 💻✨