Di tengah target belajar yang makin tinggi dan kurikulum yang makin padat, anak-anak kita menghadapi tantangan besar yang sering tak terlihat. Tangisan, rengekan, bahkan lemparan pensil bukan tanda malas — tapi sinyal: “Aku kewalahan, dan aku butuh ditolong.”
Sama seperti orang dewasa yang bisa burnout karena pekerjaan, anak pun bisa burnout karena belajar. Sayangnya, bedanya… mereka belum bisa menyuarakannya dengan kata-kata. Tapi kita bisa belajar untuk memahami lewat respons mereka.
Alih-alih berkata “Ayo dong, masa gitu aja nggak bisa,” coba ganti dengan,
💬 “Gimana kalau kita cari tahu bareng-bareng ya? Kadang mama juga bingung kok dulu waktu belajar ini…”
Respons sederhana seperti itu bisa jadi jembatan yang menenangkan. Anak tak lagi merasa sendiri di hadapan soal yang sulit, tapi merasa disambut dan dimengerti.
Saat anak menangis karena belajar, jangan buru-buru merasa gagal. Justru di situlah kita diuji: bisa nggak kita hadir sebagai tempat pulang yang aman?
Karena pada akhirnya, anak akan lupa soal matematika yang bikin stres… tapi dia akan selalu ingat siapa yang memeluknya saat dia merasa bodoh.