“Bu, aku bikin lagu pakai AI… Bisa dengerin bentar?”
Saya terdiam. Anak saya, yang lebih suka menggambar dan main gitar daripada belajar IPA, menunjukkan lagu ciptaannya—hasil kolaborasi dia dan teknologi kecerdasan buatan. Melodinya belum sempurna. Tapi ada satu hal yang membuat saya merinding: **anak ini sedang belajar menyampaikan rasa dengan cara baru**.
Di saat yang sama, berita tentang OTT Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, memenuhi media. Salah satu saksi, Rahmat Setiawan Tonidaya, menceritakan bagaimana eks komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, ditangkap KPK saat hendak terbang ke Bangka Belitung. OTT ini bukan cuma soal politik, tapi tentang etika dan kejujuran. Saya pun berpikir: anak-anak kita pintar teknologi, tapi apakah mereka juga cukup kuat di nilai-nilai hidup?
Selama ini, mungkin kita membayangkan AI hanya cocok untuk anak-anak yang jago coding, suka logika, atau tertarik dengan robotik. Tapi ternyata, AI sekarang sudah bisa menjadi sahabat bagi anak-anak yang justru punya kekuatan di dunia seni dan musik.
Dengan bantuan AI, anak-anak bisa menciptakan lagu, membuat karya visual, dan bahkan mengekspresikan emosi melalui aplikasi sekolah terintegrasi yang mendukung pembelajaran kreatif. Teknologi ini sudah hadir dalam bentuk **sistem-informasi-sekolah yang ramah kreativitas**, bukan hanya nilai akademik semata.
Di tengah gempuran tren digital, kita sering lupa bahwa teknologi hanyalah alat. Yang lebih penting adalah **nilai yang dibangun bersama teknologi**. Anak-anak yang tumbuh bersama seni, jika ditemani dengan bijak oleh orang tua dan guru, bisa mempelajari banyak hal—termasuk kepekaan, empati, dan tanggung jawab.
Inilah yang membedakan mereka dengan sosok dewasa yang kini berkasus karena kehilangan kompas etikanya. Jangan sampai anak-anak kita tumbuh pintar tapi kering makna. **Teknologi AI adalah peluang, bukan pengganti nilai hidup.**
Kalau sekolah anak Bapak dan Ibu sudah menggunakan manajemen-sekolah-digital, jangan hanya percaya sistemnya canggih. Pastikan juga, sekolah mendampingi anak-anak dalam menggali potensi terbaik mereka. Terutama anak-anak yang suka seni, musik, teater, bahkan menulis puisi.
Bukan tidak mungkin, lewat software-sekolah-4.0, mereka bisa menulis skenario, menyusun film pendek, atau mengaransemen lagu mereka sendiri. AI akan menjadi alat, tapi nilai hidup dan etika tetap harus kita tanamkan—sejak dini.
Satu hal yang saya pelajari dari lagu ciptaan anak saya: kejujuran dalam karya itu murni. Anak saya menulis lagu tentang rasa sayang pada keluarganya, dan AI membantunya menyusun harmoni. Sebuah proses kreatif yang membuatnya lebih terbuka, lebih percaya diri, dan—yang terpenting—lebih menghargai proses.
Di dunia yang makin canggih, mari kita jangan hanya sibuk mengejar angka nilai. Mari kita dampingi anak-anak kita dengan penuh cinta, agar teknologi tak menjauhkan mereka dari jati dirinya. Sebaliknya, teknologi seperti AI bisa membantu mereka menemukan jalan mereka sendiri—sepanjang kita tetap hadir membimbing.
Kasus OTT yang melibatkan tokoh publik seperti Hasto Kristiyanto semoga menjadi pengingat: pintar saja tidak cukup, etika harus nomor satu.
Saatnya anak-anak kita tumbuh jadi generasi baru—yang bukan hanya menguasai AI, tapi juga punya nurani dan karakter kuat. Dimulai dari rumah. Dari kita.
Dan ingat, kalau sekolah anak sudah punya administrasi-sekolah-online yang canggih, jangan lupa tanya: “Di balik teknologi ini, apa yang sedang diajarkan soal nilai hidup?”